Gerakan Pemuda Berkebajikan; Anak Muda Satu Rasa Untuk Indonesia!



Gerakan Pemuda Berkebajikan di Pura Nirwana Jati

Indonesia, tempat kita dilahirkan dan dibesarkan, rumah besar bagi 280 juta manusia. Indonesia dengan 17.000 pulaunya, 800 bahasanya, dan ribuan lain suku bangsanya, namun tak sekali pun berpecah, yang ada malah bersatu padu. Ideologi pancasila memiliki peranan penting dalam integrasi dan persatuan tersebut, bagaimana tidak, hampir semua paham dan pandangan dapat diakomodir dengan baik oleh pancasila. Mulai dari kanan jauh seperti ideologi Islam hingga kiri jauh seperti komunisme (hingga tahun 1965). Hal tersebut membuktikan kesuksesan pancasila sebagai sebuah visi indonesia yang beragam, tak ada yang dinafikan, tidak saling menegasikan, tak menganulir sebuah paham dan pandangan, tapi mewadahi semua keyakinan.

Para pendiri bangsa Indonesia seperti Sukarno, Mohammad Hatta dan kawan-kawannya berkeyakinan, bahwa Indonesia berdiri karena dan untuk tumpah darah segenap bangsa, bukan hanya satu golongan tertentu hal itu tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar pada alinea keempat yang kira-kira bunyinya ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ada darah orang-orang Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan semuanya yang tak mungkin disebutkan satu persatu yang mewarnai merahnya merah-putih kita. Hal ini seharusnya menjadi bukti jelas bahwa bangsa kita memang beragam dan diciptakan untuk memeluk keberagaman itu.

Keragaman Indonesia itu juga didukung oleh kalangan muda, peristiwa tanggal 28 Oktober 1928, atau yang sering kita sebut sebagai sumpah pemuda membuktikan tekad pemuda untuk bersatu. Sumpah Pemuda, yang kira-kira bunyinya bertumpah darah, berbahasa dan berbangsa yang satu yaitu Indonesia diikrarkan oleh pemuda-pemudi dari berbagai macam kalangan dan latar belakang. Yang menarik, anak-anak muda dalam peristiwa itu memaksa dan memprakarsai lahirnya sebuah bangsa yang berdiri kokoh hingga saat ini, Bangsa Indonesia.

Peran anak-anak muda yang begitu signifikan tak dapat ditiadakan kebenarannya, mengutip Bung Karno, ‘beri aku sepuluh pemuda, akan kuguncang dunia’. Termasuk peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang didorong oleh semangat anak muda yang menuntut Bung Karno dan Hatta untuk segera saja memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kalimat sakral itu diucapkan, ‘Kami Bangsa Indonesia Dengan Ini Menyatakan Kemerdekaan Indonesia!’, itu semua berkat semangat dan kegigih-juangan anak-anak muda.

 

Dewasa ini, kita bukan lagi berjuang dengan cara berperang atau menculik Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lagi-lagi mengutip Sang Proklamator, ‘Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri’. Pada era ini, perjuangan adalah menegakkan semangat para pendiri bangsa, semangat toleransi dan kebersamaan. Bagaimana anak muda bersikap akan menentukan arah bangsa, sikap acuh tak acuh dan cenderung ‘bejat’ dapat menjadi awal kehancuran bangsa. Saya cukup terkejut dan bersedih ketika menyaksikan cara berbicara anak muda yang tak karuan dan tak mengerti unggah-ungguh, lebih lagi, beredar di media sosial video sekelompok pemuda menendang nenek yang telah tua renta. Hal itu sungguh keji dan membuat saya —yang juga seorang anak muda— menjadi tergerak untuk berbuat sesuatu.

Pada tanggal 28 Desember 2022, saya bersama-sama dengan tujuh orang lainnya memikirkan sebuah cara untuk menggalang semangat kebersamaan dan anti intoleransi pada kalangan anak muda, saat itu lah tercetus nama Berkebajikan. Pada hari itu juga kami memutuskan untuk memulai sebuah langkah kecil dengan membuat kukis kemudian dibagikan kepada orang-orang di pinggir jalan, kami menemukan kebahagiaan dengan berbagi. Giat itu kemudian kami sebut sebagai Christmas Cookies walaupun mungkin agak terlambat. Kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke Panti Asuhan Al Muzammil di Tarik, kunjungan Rumah Wanula Pondok Kasih di Sedati, hingga giat kerja bakti bersam Pura Nirwana Jati di Prambon.

Apa yang kami lakukan bukan tanpa alasan, kami selalu mengusung sebuah tema dalam berkegiatan, sebagai contoh kami mengambil tema ‘Hari Tua Tanggung Jawab Semua’ pada kunjungan ke Rumah Wanula, hal itu didasari kepedulian dan concern kami, berdasarkan proyeksi data, di 2045 nanti 20% atau satu perlima populasi Indonesia adalah lansia, kalau anak muda tak mulai menyadari hal itu, bisa jadi akan banyak kasus lansia yang terlantar. Kami menginginkan pesan tersebut ditangkap sebagai sebuah kekhawatiran dan tuntutan akan jaminan hari tua.

Pada giat kerja bakti bersama Pura Nirwana Jati, kami mengangkat tema ‘Toleransi Beragama di Tengah Pluralisme Indonesia’. Tema itu kami angkat juga atas keresahan kami akan tabiat beberapa oknum warga dan atau bahkan anak muda yang intoleran, yang memaksa bubar ibadah-ibadah umat agama lain. Saat berkunjung ke Pura Nirwana Jati kami juga diberi tahu bagaimana susahnya memperjuangkan bangunan pura, pernah digempur warga dan terpaksa pindah lokasi beberapa kali. Kami ingin sampaikan pesan bahwa anak muda itu harus solid dan toleran pada siapapun, kapanpun dan di manapun.



            Menerjemahkan Pancasila sebagai landasan gerak, Berkebajikan memiliki tiga pilar, yaitu Kebajikan, Sopan Santun dan Humanisme. Kebajikan kami artikan sebagai sikap selalu berbuat baik, kami meyakini bahwa hal baik akan menular. Sopan Santun kami maknai sebagai wajib dikembalikannya sikap sopan santun, unggah-ungguh dan tata krama di dalam diri anak muda yang kami rasa telah banyak hilang. Sedangkan, untuk Humanisme sendiri kami artikan sebagai sikap Anti Intoleransi dan mendahulukan kemanusiaan ketimbang semua urusan lain, dalam hal ini kami banyak terinspirasi dari Almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

 

Salam Berkebajikan!

 

(Bersambung)

 

Komentar

REKOMENDASI